مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan
pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas
yang selalu hadir”
(QS. Qaaf: 18)
عَلَيْهَا
تِسْعَةَ عَشَرَ
"Di
atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)." – (QS.74:30)
4.
Sighat atau Ikrar Wakaf
Yang
dimaksud dengan sighat wakaf ialah kata-kata atau pernyataan yang
dinyatakan atau diucapkan oleh seseorang yang berwakaf (Abdurrahman,
1994: 49). Sebagaimana dinyatakan dalam KHI pasal 215 ayat (3) jo PP
No. 28 tahun 1977 pasal 1 ayat (3) menyatakan “Ikrar adalah
pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah benda
miliknya.” Dalam ikrar atau sighat itu dapat dilakukan dengan lisan
atau tulisan, dengan menggunakan kata “Aku mewakafkan” atau “Aku
menahan” atau kalimat semakna lainnya.
Ikrar
wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat deklamatif (sepihak). Untuk
itu diperlukan adanya kabul (penerimaan) dari orang yang menikmati
manfaat wakaf tersebut (Rofiq, 1997: 497).
Namun
demikian, demi tertib hukum dan administrasi guna menghindari
penyalahgunaan benda wakaf, pemerintah mengeluarkan peraturan
perundang-undangan secara organik mengatur perwakafan. Dalam pasal 5
PP No. 28 1977 jo pasal 218 KHI dinyatakan:
a)
Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada nadzir dihadapan pembantu Akta Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkan
dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
b)
Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud
ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Para
fuqoha telah menetapkan bahwa sighat wakaf, seperti rukun yang lain,
juga harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Sighat wakaf itu harus mengandung pernyataan yang berarti Jumhur.
Wakaf itu tidak boleh bersifat sementara, sebab wakaf itu dilakukan
untuk taqarrub kepada Allah, karenanya tidak sepantasnya bersifat
sementara. Sedangkan menurut Malikiyah, wakaf itu boleh bersifat
sementara untuk sekian tahun atau beberapa bulan kemudian barang
wakaf itu kembali lagi kepada orang yang berwakaf.
b.
Sighat itu harus mengandung arti tegas dan tunai, tidak
boleh pula ditangguhkan untuk masa yang akan datang. Sebab wakaf itu
mengandung ketentuan pemindahan pemilikan ketika akad diucapkan.
Jadi, sighat itu tidak boleh bersyarat, seperti ucapan “Aku
wakafkan ini setelah Zaid datang” dan lain sebagainya. Menurut yang
disebut terakhir, wakaf itu boleh bersyarat dan boleh ditangguhkan
realisasinya pada masa yang telah ditetapkan oleh orang yang
berwakaf.
c.
Sighat wakaf harus mengandung kepastian, artinya suatu wakaf tidak
boleh diikuti syarat kebebasan memilih bagi orang yang berwakaf dan
mensyaratkan bahwa dirinya atau orang lain boleh mengambilnya kapan
saja bila dikehendaki.
d.
Sighat wakaf harus tidak diikat dengan syarat-syarat yang
batil. Seperti seseorang yang muwakaf mensyaratkan barang yang
diwakafkan tetap sebagai miliknya atau mensyaratkan sebagian dan
hasil wakaf itu untuk perbuatan maksiat.
Khusus
bagi Syafi’iyah, sighat wakaf tersebut harus mengandung penjelasan
tempat atau tujuan akaf, artinya seseorang yang berwakaf harus
menjelaskan kemana dan untuk siapa atau untuk apa wakaf itu
diberikan.
Wakaf
senilai dengan amal jariyah, karena ia bukan sekedar sedekah biasa,
disebabkan pahala dan manfaatnya lebih besar diperoleh (pahala
mengalir terus) bagi orang yang mewakaf kan. Perhatikan Firman Alloh
dan hadis berikut. QS. Ali Imran {3} : 92 dan QS. Al- Hajj {22} :77.
-
Lafaz yang jelas (soreh). Contoh, “saya mewakafkan tanah saya seluas satu ekar di Kampung Rampayan Sabah kepada pihak MUIS bermula 1 Ogos 2016”.
-
Lafaz simbolik (kinayah), lafaz yang tidak menyebut perkataan wakaf tetapi boleh membawa erti wakaf termasuk lafaz dalam bentuk tulisan, isyarat dan simbolik. Contoh, “saya serahkan hartaku kepada fakir miskin selama-lamanya”.
Penduduk
Ø
Mereka
yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam wilayah suatu
negara.
Bukan
Penduduk
Ø
Mereka
yang berada dalam suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu.
Cth:
Turis sedang berlibur.
Warga
Negara
Ø
Mereka
yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu negara tertentu.
Bukan
Warga Negara
Ø
Mereka
yang tinggal di suatu negara tetapi tidak menjadi anggota negara yang
bersangkutan.
Perbedaa
0 komentar:
Post a Comment