Kesultanan
Ternate
Kesultanan
Ternate
atau juga dikenal dengan Kerajaan
Gapi
adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam
di Kepulauan
Maluku
dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate
memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad
ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di
paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah
dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang
mencakup wilayah Maluku,
Sulawesi
bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina
hingga sejauh Kepulauan
Marshall
di Pasifik.
Daftar
isi
Asal
Usul
Pulau
Gapi
(kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate
awal merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing dikepalai
oleh seorang momole
(kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan
dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari
rempah–rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan
bermukimnya pedagang Arab,
Jawa,
Melayu
dan Tionghoa.
Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman
yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole Guna
pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi
yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun
1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai
kolano
(raja) pertama dengan gelar Baab
Mashur Malamo
(1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam
perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh
penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan
orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan
populernya Kota
Ternate,
sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate
daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa
berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh
dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.
Struktur
Kerajaan
Pada
masa–masa awal suku
Ternate
dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan
pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano.
Mulai pertengahan abad ke-15, Islam
diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat
Islam
diberlakukan. Sultan
Zainal Abidin
meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan.
Para ulama
menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah
sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu
(perdana menteri) dan fala
raha
sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan
bangsawan
yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para
momole pada masa lalu, masing–masing dikepalai seorang kimalaha.
Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat
tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang
sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se
Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Kolano
dan Sultan Ternate
|
|
Baab
Mashur Malamo |
1257
- 1277 |
Jamin
Qadrat |
1277
- 1284 |
Komala
Abu Said |
1284
- 1298 |
Bakuku
(Kalabata) |
1298
- 1304 |
Ngara
Malamo (Komala) |
1304
- 1317 |
Patsaranga
Malamo |
1317
- 1322 |
Cili
Aiya (Sidang Arif Malamo) |
1322
- 1331 |
Panji
Malamo |
1331
- 1332 |
Syah
Alam |
1332
- 1343 |
Tulu
Malamo |
1343
- 1347 |
Kie
Mabiji (Abu Hayat I) |
1347
- 1350 |
Ngolo
Macahaya |
1350
- 1357 |
Momole |
1357
- 1359 |
Gapi
Malamo I |
1359
- 1372 |
Gapi
Baguna I |
1372
- 1377 |
Komala
Pulu |
1377
- 1432 |
Marhum
(Gapi Baguna II) |
1432
- 1486 |
Zainal
Abidin |
1486
- 1500 |
Sultan
Bayanullah |
1500
- 1522 |
Hidayatullah |
1522
- 1529 |
Abu
Hayat II |
1529
- 1533 |
Tabariji |
1533
- 1534 |
Khairun
Jamil |
1535
- 1570 |
Babullah
Datu Syah |
1570
- 1583 |
Said
Barakat Syah |
1583
- 1606 |
Mudaffar
Syah I |
1607
- 1627 |
Hamzah |
1627
- 1648 |
Mandarsyah |
1648
- 1650 (masa pertama) |
Manila |
1650
- 1655 |
Mandarsyah |
1655
- 1675 (masa kedua) |
Sibori |
1675
- 1689 |
Said
Fatahullah |
1689
- 1714 |
Amir
Iskandar Zulkarnain Syaifuddin |
1714
- 1751 |
Ayan
Syah |
1751
- 1754 |
Syah
Mardan |
1755
- 1763 |
Jalaluddin |
1763
- 1774 |
Harunsyah |
1774
- 1781 |
Achral |
1781
- 1796 |
Muhammad
Yasin |
1796
- 1801 |
Muhammad
Ali |
1807
- 1821 |
Muhammad
Sarmoli |
1821
- 1823 |
Muhammad
Zain |
1823
- 1859 |
Muhammad
Arsyad |
1859
- 1876 |
Ayanhar |
1879
- 1900 |
Muhammad
Ilham (Kolano Ara Rimoi) |
1900
- 1902 |
Haji
Muhammad Usman Syah |
1902
- 1915 |
Iskandar
Muhammad Jabir Syah |
1929
- 1975 |
Haji
Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II) |
1975
– 2015[8] |
Moloku
Kie Raha
Selain
Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang
memiliki pengaruh yaitu Kesultanan
Tidore,
Kesultanan
Jailolo,
dan Kesultanan
Bacan.
Kerajaan–kerajaan ini merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan
hegemoni di Maluku.
Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate
mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan
memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku yang memandang
Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi
menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7
Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo
(1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain untuk berdamai
dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian
dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting
dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman
bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini
dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai
persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
Kedatangan
Islam
Sigi
Lamo,
masjid peninggalan Kesultanan Ternate.
Tak
ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam
di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan
Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya
pedagang Arab
yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate
sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun
keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat
dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam
pertengahan abad ke-15.
Kolano
Marhum
(1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang
diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana.
Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500).
Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah
meninggalkan gelar kolano
dan menggantinya dengan sultan,
Islam diakui sebagai agama
resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga
kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku
secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah
yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam
ajaran Islam dengan berguru pada Sunan
Giri
di pulau Jawa.
Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).
Kedatangan
Portugal dan Perang Saudara
Peta
terawal Kepulauan
Maluku Utara
karya seorang kartografer
Belanda,
Willem Janszoon Blaeu, pada tahun 1630.
Arah utara berada di sebelah kanan, dengan Pulau
Ternate
terletak di ujung kanan, diikuti oleh Pulau
Tidore,
Mare, Moti dan Kepulauan Makian. Pada bagian bawah adalah Gilolo
(Jailolo
atau Halmahera).
Inset yang berada di atas menunjukkan Pulau
Bacan.
Pada
masa pemerintahan Sultan
Bayanullah
(1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan
berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu
dan senjata
yang diperoleh dari orang Arab
dan Turki
digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang
orang Eropa
pertama di Maluku, Loedwijk
de Bartomo
(Ludovico Varthema) tahun 1506.
Tahun
1512 Portugal
untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan
Fransisco
Serrao,
atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di
Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang
melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala
dan cengkih
di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan
Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat
belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik
almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal
Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota
yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan
Dayalu)
dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan
Abu Hayat II).
Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal
memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah
perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan
pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan
pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur
Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh
yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat
pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan
Tabariji
mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa,
India.
Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian
menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen
dan vasal
kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh
Sultan
Khairun
(1534-1570).
Pengusiran
Portugal
Perlakuan
Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram
dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa
Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat
yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan
terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh
dan Demak
setelah kejatuhan Malaka
pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung
sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak
ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang
pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat,
selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka
juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi
yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan
Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di
Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai
kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez
de Mesquita
mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan
kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan
Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan
Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan
perjuangan Sultan
Baabullah
(1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur
Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya
Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575. Di
bawah pimpinan Sultan
Baabullah,
Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi
Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan
Marshall
di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga
kepulauan Nusa
Tenggara
di bagian selatan.
Sultan
Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga
menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di
Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah
barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga
kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak
dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar
pertama yang membendung kolonialisme Barat.
Kedatangan
Belanda
Sepeninggal
Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan
Spanyol
yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai
kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol
memperkuat kedudukannya di Filipina,
Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao
untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan
Said Barakati
berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan
demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda
pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun
dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara
perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan
Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC
di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun
1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan
benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak
awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan
Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan
Ternate. Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda
Ambon
yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi
yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan
perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah
kepada pedagang Jawa
dan Makassar.
Perlawanan
Rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate
Semakin
lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat.
Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat
lewat perintah sultan. Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap
sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan
bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.
-
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
-
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
-
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski
telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya
tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan
kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu
menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir
tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di
wilayah Banggai
dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di
Jailolo
rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit
Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas
mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer
serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan
tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi
hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat
dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan
pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan
Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh
hartanya disita, dia dibuang ke Bandung
tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca
penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat
lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu
serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia
Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu urung
dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu
pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat
pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam
usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate
masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
Warisan
Ternate
Imperium
Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak
pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan
sejarah yang panjang masih terus terasa hingga berabad kemudian.
Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara
bagian timur khususnya Sulawesi
(utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama,
adat-istiadat
dan bahasa.
Sebagai
kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang
besar dalam upaya pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di
wilayah timur nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk
organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang
diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar
yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa perubahan yang
berarti.
Keberhasilan
rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada
tahun 1575 merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas
kekuatan barat, oleh karenanya Buya
Hamka
bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan
barat atas bumi nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh
kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate gagal niscaya wilayah
timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
Kedudukan
Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat
derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah
yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W. Masinambow dalam
tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa
Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa
Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa
Melayu
yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46% kosakata
bahasa
Melayu
di Manado
diambil dari Bahasa Ternate. Bahasa
Melayu Ternate
ini kini digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi
Utara,
pesisir timur Sulawesi
Tengah
dan Selatan, Maluku
dan Papua
dengan dialek yang berbeda–beda.[9]
Dua
naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja
Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 diakui sebagai naskah
Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung
Tanah.
Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di
Museum
Lisabon,
Portugal.[10][11][12]
Lihat
Pula
Referensi
-
^ Henry Chambert-Loir & Oman Aturrahman. "Khazanah naskah: panduan koleksi naskah-naskah Indonesia sedunia". Diakses tanggal 21 Maret 2013.
Daftar
Pustaka
-
M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
-
Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
-
Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987.
0 komentar:
Post a Comment